Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan

Manajemen Mutu Terpadu adalah suatu sistem manajemen yang berfokus kepada orang yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan pelanggan pada biaya sesungguhnya yang secara berkelanjutan terus menurun. Manajemen Mutu Terpadu merupakan pendekatan sistem secara menyeluruh (tidak terpisah) dan merupakan bagian terpadu strategi tingkat tinggi. Sitem ini bekerja secara horizontal menembus fungsi dan departemen, melibatkan semua karyawan dari atas sampai kebawah, meluas kehulu dan kehilir, mencakup mata rantai pemasok dan pelanggang.

Manajemen mutu terpadu atau biasa juga disebut Total Quality Management (TQM) telah sukses diterapkan dalam dunia bisnis. Hal ini telah diilhami dalam dunia pendidikan. Perusahaan-perusahaan yang dikenal telah berhasil meningkatkan kinerja, produktivitas, profitabilitas, dan daya sain lewat TQM antara lain: Xerox, IBM, Motorolla dll.


Paling tidak, terdapat empat kriteria agar program TQM yang diterapkan oleh suatu perusahaan berhasil yaitu:
1. TQM harus didasarkan pada kesadaran akan mutu dan berorientasi pada mutu dalam semua kegiatannya sepanjang program, termasuk dalam setiap proses dan produk.
2. TQM harus mempunyai sifat kemanusiaan yang kuat untuk membawa mutu pada cara karyawan diperlakukan, diikutsertakan dan diberi inspirasi.
3. TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang di semua tingkat, terutama digaris depan, sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan, bukan hanya slogan kosong.
4. TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.

Ada empat bidang utama dalam penyelenggaraan pendidikan yang dapat mengadopsi prinsip-prinsip TQM. Pertama adalah penerapan TQM untuk meningkatkan fungsi-fungsi administrasi dan operasi atau secara luas untuk mengelolah proses pendidikan secara keseluruhan. Kedua adalah mengintegrasikan TQM dalam Kurikulum. Ketiga adalah penggunaan TQM dalam metode pembelajaran dikelas. Keempat menggunakan TQM untuk mengelolah aktivitas riset dan pengembangan.

Konsep TQM dalam pendidikan memandang bahwa lembaga pendidikan merupakan industri jasa dan bukan sebagai proses produksi. TQM dalam hal ini tidak membicarakan permasalahan masukan (peserta didik) dan keluaran (lulusan) tetapi mengenai pelanggang yang mempunyai kebutuhan dan cara memuaskan pelanggang tersebut.

Sumber: http://id.shvoong.com/business-management/management/2177400-manajemen-mutu-terpadu-dalam-pendidikan/#ixzz1Q6zaAciI

selengkapnya......

Pendidikan Guru Belum Jelas

Jakarta, Kompas - Pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab soal pendanaan penyelenggaraan pendidikan profesi guru. Hal ini mengakibatkan kuota 13.000 guru untuk dididik sampai Juli 2011 bisa tak tercapai.

Pemerintah pusat hanya memberikan bantuan persiapan pendidikan profesi guru (PPG) kepada lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) negeri dan swasta yang ditunjuk. Sementara guru yang gajinya masih minim umumnya tidak berminat meraih gelar guru profesional lewat PPG yang biayanya bisa di atas Rp 10 juta untuk satu tahun.

Supriadi Rustad, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta, Jumat (25/2), mengatakan, PPG bagi guru dalam jabatan ini kuotanya untuk 13.000 guru. Jatah ini di luar kuota sertifikasi dari pemerintah pusat tahun ini yang dialokasikan 300.000 guru.

Jalur ini dibuka untuk memberi kesempatan kepada daerah yang ingin mendapatkan kualitas guru profesional. Setelah guru lulus PPG, mereka dapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

”Jika pemerintah daerah peduli dengan guru di daerahnya, seharusnya PPG guru didukung. Mereka bisa memilih guru yang memenuhi syarat untuk dibiayai. Ini semua tergantung dari daerah,” kata Supriadi.

Edy Heri, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, mengatakan, pihaknya kesulitan menyediakan anggaran untuk PPG guru dalam jabatan untuk tahun ini. Anggaran daerah difokuskan untuk memberi beasiswa pendidikan S-1 bagi guru.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, pihaknya akan melihat anggaran dulu apakah memungkinkan atau tidak untuk membiayai PPG bagi guru di Kota Bandung.

”Kami lihat dulu kuotanya untuk Kota Bandung. Sampai saat ini belum ada pemberitahuan resmi soal PPG. Namun rasanya tidak bisa menanggung seluruh kuota guru,” kata Oji. (ELN)

selengkapnya......

Matinya Sekolah dan Kampus Kita?

Ahmad BaedowiAgak ekstrem, memang, membayangkan sekolah dan kampus tak memberi arti banyak bagi pertumbuhan mental individual dan sosial anak-anak kita. Secara individual mereka digiring untuk berpikir konvergen dan sangat jarang dituntun untuk berpikir secara divergen. Akibatnya pendidikan sangat minim dengan praktik mengapresiasi kondisi sosial karena di sekolah dan kampus anak-anak kita secara sengaja dan menyengaja diasingkan dengan persoalan keseharian yang ada di sekitar mereka. Akibatnya, muncul perlawanan diam-diam dalam bentuk yang asosial; kerumunan, tawuran, demonstrasi anarkistis, dan bentuk-bentuk kekerasan sejenis yang tak mereka dapati dan pelajari di sekolah dan kampus.
Jelas pendidikan kita memerlukan tatanan baru yang proses belajarnya lebih memanusiakan manusia. Bukan lagi membuat sebanyak mungkin klasifikasi subjek-objek, bodoh-pintar, cerdas-idiot, dan beragam label lainnya sehingga lagi-lagi para siswa dan mahasiswa banyak yang teralienasi dan mengambil sendiri inisiatif tambahan dalam bentuk kekerasan dan bentuk-bentuk radikalisme lainnya. Apabila proses belajar-mengajar hanya

berorientasi kognitif, tidaklah mengherankan jika para siswa kurang memiliki kemampuan untuk menyerap sikap-sikap yang lebih toleran, antikekerasan, antinarkoba, dan antipornografi. Akhirnya yang muncul malah semakin banyak kasus-kasus negatif yang melibatkan anak didik, yang pada akhirnya membuat masyarakat berkesimpulan bahwa sekolah dan kampus telah gagal dalam mengambil peran sosial mereka.
Kita harus terus menguji, seberapa besar, misalnya, pemahaman para siswa terhadap wawasan inklusivistis dan tujuan universal pembelajaran agar anak didik memiliki karakter dan emosi yang stabil dalam menghadapi rumit dan besarnya tantangan kehidupan global ini. Sangat penting membekali para guru dan siswa sekaligus dengan wawasan inklusivistis untuk mendukung pengembangan sikap inklusif, baik dalam konteks menghargai perbedaan juga dalam menanggapi isu-isu sensitif di sekitar persoalan maraknya penyebaran narkoba, kejahatan seksual, dan kekerasan di sekolah. Dengan paradigma yang benar tentang wawasan inklusivistis itu, para siswa dan guru diharapkan dapat dengan mudah mendesain pembelajaran secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan isu kontemporer yang menghinggapi kehidupan anak didik kita. Wawasan inklusivistis juga diharapkan akan membawa makna baru tentang pendidikan kita yang telah direduksi dan didistorsi menjadi hanya semata-mata 'pengajaran' yang memiliki keterbatasan dimensi sehingga menghambat tumbuhnya kesadaran pluralisme di ruang-ruang belajar sekolah kita, terutama ketika para anak didik sedang mempelajari makna besar realitas kehidupan yang sebenarnya.
Pendek kata, gagasan tentang sekolah dan kampus yang membebaskan anak didik dari keterasingan realitas sosial mereka harus terus dikumandangkan. Jika belajar dari warisan Paulo Freire, seyogianyalah pendidikan harus dibebaskan dari penindasan dan kesewenang-wenangan birokrasi, guru dan pendidik yang selalu mencoba membuat siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya dan terbenam ke dalam 'kebudayaan bisu' (submerged in the culture of silence). Proses pendidikan yang benar, di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga mereka mampu mengasah daya jelajah imajinasi mereka sesuai dengan lingkungan tempat mereka menetap. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.
Dalam bahasa yang gamblang bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa), dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia adalah objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya adalah apakah skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika itu? Kita berani mengatakan tidak. Hampir semua bahan ajar yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka. Pengulangan demi pengulangan sering kali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.
Kritik Fraire jelas sekali dalam hal ini, yaitu bahwa sistem pendidikan yang mapan di mana pun itu selalu menggunakan banking concept of education, yang titik egonya adalah siswa/mahasiswa diberikan ilmu pengetahuan agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Siswa/mahasiswa adalah objek investasi dan sumber deposito potensial para guru dan birokrat yang harus terus-menerus dieksploitasi laksana komoditas ekonomi. Dengan pendekatan itulah sekolah dan kampus dibangun sehingga daftar antagonisme pendidikan gaya bank ini terus berkembang dan berlanjut, seperti guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apa–apa, dan guru mengatur-murid diatur.
Dalam konteks itu, meskipun telah banyak diperkenalkan wacana dan paradigma tentang gaya belajar-mengajar yang harus berpusat kepada kebutuhan siswa (student center), pada praktiknya tetap saja gaya bank yang lebih banyak berlaku. Karena itu, tak mengherankan jika banyak siswa/mahasiswa menjadi sesak napas dan terbiasa mengambil jalan pintas ketika tak memiliki kemampuan dalam menghadang realitas dunia yang semakin konsumtif dan hedonis. Padahal pendidikan seharusnya menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya (social and cultural domestication).

selengkapnya......

Madrasah Berstandar Internasional

Pertengahan tahun ini, akan dibangun madrasah berstandar internasional (MBI) pada 12 tempat di Indonesia. Tidak kurang dari Rp 150 miliar dianggarkan oleh Kementerian Agama untuk pembangunan ini. Selain itu akan ada banyak madrasah model yang diupgrade menuju MBI. Setiap lembaganya akan mendapat anggaran Rp 5 miliar untuk membangun mahad (asrama/pondok).
Dari data yang dihimpun KORAN PENDIDIKAN, ke 12 provinsi tersebut meliputi Dumai (Riau), Batam (Kepulauan Riau), Musi Banyu Asin (Sumatera Selatan), Maros (Sulawesi Selatan), Pekalongan (Jawa Tengah), Indramayu (Jawa Barat), Palu (Sulawesi Tengah), Tanah Laut (Kalimantan Selatan), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Pasuruan (Jawa Timur) dan Padang Pariaman (Sumatera Barat).

Sementara beberapa dari madrasah yang diupgrade adalah MAN 4 Pondok Pinang Jakarta, MAN 3 Yohyakarta, MAN 3 Malang, MAN 1 Semarang, dan lainnya. Madrasah ini memang sudah didesain menjadi model madrasah yang memiliki kualifikasi mutu, kualifikasi proses, kualifikasi sarana dan prasana, serta sumber daya yang layak dan siap untuk menjadi MBI.
Program MBI, seperti dijelaskan oleh Mahsusi MM, Kasubdit Kurikulum dan Evaluasi Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, merupakan rintisan yang menggunakan sistem pendidikan yang terpadu dengan pondok pesantren (mahad). Harapannya MBI dapat menjadi pusat keunggulan pendidikan Islam di masa mendatang.
“MBI adalah madrasah yang memenuhi delapan komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan memiliki keunggulan pelayanan dan lulusan yang diakui secara internasional. Kementerian Agama juga akan menyediakan tenaga guru dengan kualitas terbaik dalam rangka mengembangkan jati diri siswa,” jelas Mahsusi.
Menarik untuk dicermati dari program MBI ini adalah keberadaan mahad sebagai bagian yang terintegrasi dari proses pembelajaran. Oleh Kepala MAN 3 Malang, Drs H Imam Sujarwo MPd, ditegaskan bila pada akhirnya MBI nanti memadukan model pendidikan pondok pesantren dimana proses pembelajaran terintegrasi antara di madrasah dan di mahad.
“Nantinya seluruh siswa di MBI akan menjalani proses pembelajaran 24 jam sehari selama tiga tahun. Didalamnya, selain belajar kurikulum di madrasah, juga dibekali kegiatan yang berorientasi pada pembentukan sikap, moral, mental, perilaku, dan skill. Jadi ada pembelajaran yang menyeluruh dan lengkap antara ilmu pengetahuan, agama, dan sipritualitas,” tegas Imam Sujarwo.
Kahadiran mahad bahkan oleh pengelola sekolah juga dianggap sebagai keunggulan MBI. Kepala SMAN 1 Malang, Drs H Muhammad Sulthon MPd memberi apresiasi terhadap keberadaan mahad ini. Menurut kepala pada sekolah yang tengah merintis sebagai sekolah internasional (RSBI) ini, bila dikelola dengan konsep yang bagus, kehadiran mahad pada akhirnya akan membuat pendidikan di MBI makin unggul.
“Akan ada lebih banyak ruang dan waktu untuk mendesain kurikulum pembelajaran terpadu. Bukan saja pada penguasaan keilmuan sesuai kurikulum namun pada materi atau kegiatan lain yang menunjang softskill anak didik,” tegas Sulthon
Keunggulan mahad yang terintegrasi sistem pendidikan ini, dinilai Sulthon, akan menjadi model pendidikan ideal di masa depan. Pasalnya anak didik akan mendapat perhatian lebih dari sisi penguasaan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Hal inilah amat dibutuhkan oleh orang tua terhadap pendidikan anaknya, terlebih pada orang tua yang merasa kurang memiliki cukup tanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Meski ada dukungan anggaran yang besar dari Kementerian Agama dalam mewujudkan program MBI, Kantor Kementerian Agama Kota Kediri misalnya menegaskan bahwa program MBI tidak mampir (dulu) di wilayahnya. Mereka belum siap untuk menjadi MBI, baik dalam bentuk pembangunan MBI baru atau langkah upgrade pada madrasah yang sebelumnya dikembangkan sebagai madrasah model.
“Faktor SDM madrasah yang juga menjadi kendala besar. Menurutnya, kalaupun dibangun MBI baru, guru di Kota Kediri dinilai tidak siap dengan pola pembelajaran internasional. Masih dibutuhkan waktu untuk mengupgrade kemampuan,” jelas Dra Hj Titik Rahmawati MM, Kasi Mapenda. .rer,her,mas-KP

selengkapnya......

PendidikanKarakter dalamSemangatKewirausahaan

PENDIDIKAN karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Nasional menjadi keharusan,terutama dalam menghadapi persaingan di era global yang semakin ketat.
Pengamat Pendidikan dari Perguruan Taman Siswa Darmaningtyas menyambut hal itu dengan positif. Namun, dia masih mempertanyakan karakter seperti apa yang dibutuhkan bangsa ini. ”Jika merujuk Undang-Undang Pendidikan, maka karakter yang dibutuhkan adalah manusia yang religius.Masalah itu saja belum cukup, mengingat manusia Indonesia sangatlah plural,” kata Darmaningtyas ketika dihubungi lewat ponselnya.
Karena itu, lanjut dia, perlu ditentukan terlebih dahulu definisi karakter yang sesungguhnya secara tepat.Dia merumuskan karakter sebagai sebuah sikap yang harus dimiliki individu yang mempunyai tanggung jawab sosial dan berkomitmen penuh terhadap negara dan memiliki sikap kebangsaan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak bisa hanya mengandalkan pihak sekolah. “Pembentukan karakter bukan hanya produk pendidikan. Kontribusi pendidikan terhadap individu hanya sebesar 25%.

Selebihnya, karakter seseorang terbentuk melalui kondisi di keluarga dan lingkungan tempat dia tinggal,” sebutnya. Darmaningtyas menyarankan agar keluarga, khususnya orang tua,mendidik anak sejak dini agar kelak dapat tumbuh dengan karakter yang mantap. Urgensi penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan,juga disikapi secara positif oleh pengamat pendidikan lainnya,Hanif Saha Ghafur. Namun, pengamat pendidikan dari Universitas Indonesia ini menilai, sekolah belum menerapkan pendidikan karakter secara maksimal.

Selama ini,Hanif menilai,sekolah baru berfokus pada aspek akademik semata dari para siswanya. Karena itu goal utamanya adalah bagaimana siswa dapat lulus ujian dengan nilai baik, yang kemudian mengaburkan persoalan pendidikan karakter yang seharusnya siswa dapatkan. Padahal, sekolah bukan hanya sebagai tempat mendulang nilai agar dapat lulus. Lebih dari itu, sekolah seharusnya menjadi sarana edukasi karakter siswa sebagai bekal sewaktu terjun ke dunia profesi. “Nilai akademik yang memuaskan memang bagus,tapi jika tidak diiringi dengan karakter yang kuat, buat apa?

Nantinya kita malah hanya menjadi bangsa pekerja. Lagi pula sudah banyak kasus penyimpangan yang terjadi di negara ini lantaran lemahnya karakter seseorang,” kata Hanif. Hanif melihat, pada umumnya negara maju sebelum mampu menancapkan kukunya di kancah internasional, diawali dengan memiliki karakter yang kuat pada generasi mudanya. Hal inilah yang belum dilihat Hanif pada sebagian besar generasi muda di Indonesia. Karena itulah, pembentukan karakter harus diperkuat dengan semangat kewirausahaan sebagai inti kemajuan bangsa. “Fighting spirit berbasis keunggulan, struktur inilah yang seharusnya menjadi modal bangsa untuk maju dan menunjukkan kemampuannya di lingkup internasional,”ujar Hanif. Fighting spirit yang dilengkapi dengan penguasaan teknologi dan sumber daya berkualitas, tentu akan membuat negara mampu bersaing di tingkat dunia. Hanif juga mengatakan, semangat bersaing tak pelak harus dimiliki generasi muda.

Tentunya dengan mengedepankan persaingan yang sehat. Jika dibiasakan sejak dini, nantinya individu tidak lagi merasa tidak mampu atau bahkan menarik diri dari persaingan yang ada.Apalagi persaingan ke depan semakin ketat. Perlu Dukungan Penuh Keluarga Pelaksanaan pendidikan karakter memang tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan proses yang cukup lama dan SDM yang unggul dalam pengimplementasiannya. Sekolah merupakan wahana yang sangat efektif sebagai tempat pembinaan dan pengembangan karakter secara integral. Melalui para pendidik,diharapkan sekolah mampu menjadi motor penggerak dalam pembangunan karakter bangsa.

Namun, pada kenyataannya, pendidikan karakter tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pihak sekolah semata,melainkan dibutuhkan kerja sama segenap pihak agar tujuan pendidikan karakter dapat tercapai. Mulai dari pihak keluarga, masyarakat, bahkan media sekalipun yang turut berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang anak.Dengan demikian, pendidikan karakter harus dilakukan secara holistis dan terintegrasi. Keluarga merupakan wahana pendidikan karakter paling utama bagi seorang anak. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini di dalam lingkungan keluarga.“Tantangan besar dalam penerapan pendidikan karakter ini ada pada keluarga.Segala pengajaran yang diberikan sekolah, baru bisa berhasil jika keluarga turut mendukung dengan memberikan teladan dan lingkungan yang kondusif di rumah,” beber Novi Hardian selaku staf Litbang Sekolah Alam Ciganjur.

Dikatakan Novi, sekeras apa pun mendidik siswa di sekolah tanpa adanya dukungan dari pihak keluarga,maka berbagai pelajaran moral yang pernah diberikan kepada siswa menjadi tidak berarti. Sebenarnya, masih menurut Novi, pendidikan karakter tidak mudah untuk diberikan kepada siswa. Para guru dituntut untuk mendidik bahan dasar yang tidak dibentuk sedari awal.“Perlu diingat bahwa sekolah bukan bengkel yang bisa memperbaiki segala sesuatunya,” katanya.

Hal serupa dibenarkan oleh Marsono dari Divisi Research & Development Madina Islamic School. Diakuinya, siswa berasal dari berbagai latar belakang keluarga dengan segala kepribadian yang tidak sama.Karenanya,tentu membutuhkan kerja keras guna membentuk karakter yang kuat dalam diri setiap siswa. “Masih banyak keluarga yang hanya berpikir sekolah tempat menitipkan anak, dan harus bertanggung jawab terhadap moral yang dimiliki anak bersangkutan,”tutur Marsono.

Alhasil,keluarga lalu merasa boleh lepas tangan atas anaknya dan tidak melakukan pengawasan ataupun memberi pendidikan kembali di rumah. Padahal, dibutuhkan kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai karakter positif ke dalam jiwa anaknya. Keluarga atau orang tua harus selalu memberikan nasihat-nasihat positif dan menunjukkan suritauladan yang baik di hadapan anak.Orang tua sebisa mungkin juga harus berusaha menciptakan kondisi rumah yang nyaman bagi anaknya. Tentunya sebuah rumah yang ideal harus dibalut dengan cinta,kasih sayang, dan kultur demokratis di dalamnya. (sri noviarni)

selengkapnya......

QUO VADIS GURU?

Oleh: Anton Sunarto
Dunia pendidikan berkembang cepat. Sejalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk sementara guru, perkembangan tersebut dapat berdampak kecemasan - ketakutan, dan ketidaknyamanan.. Pembaharuan kebijakan pendidikan, misalnya pembaharuan bidang kurikulum. Tidak semata pembaharuan/perubahan struktur dan isi kurikulum. Tetapi pembaharuan tersebut menuntut perubahan sikap dan perilaku dari para guru. Misalnya karakter, mental, metode dan strategi pengajaran.

Kelas dinamis dalam proses pembelajaran, dibutuhkan metodologi dan strategi kreatif - inovatif. Bagaimana guru menggunakan metode dan strategi efektif dan menyenangkan; bermuara pada kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki. Pembelajaran menyenangkan merupakan upaya perwujudan pembelajaran dinamis, dan demokratis.

Penerapan teknologi pembelajaran berbasis computer saat ini menjadi keharusan. Seorang guru gagap teknologi, tentu menjadi suatu keniscayaan untuk menggunakan teknologi computer dalam proses pembelajaran di kelas.

Komputer merupakan benda asing baginya. Kemajuan teknologi (computer) dapat mempermudah bagi guru untuk melaksanakan tugas kependidikan yang diemban. Pembelajaran di kelas pun menjadi hidup, menarik, dan menyenangkan. Situasi kelas yang menyenangkan, dan pengelolaan kelas yang dinamis, mempermudah mencapai tujuan pembelajaran.

Dunia pendidikan modern mengenal istilah quantum teaching, quatum learing, serta enjoy learning, pada intinya mengembangkan model dan strategi pembelajaran yang efektif dalam suasana menyenangkan dan penuh makna.

Pembelajaran efektif, pasti dikelola oleh guru aktif-kreatif-inovatif. Guru efektif adalah guru demokratis. Sifat demokratis adalah dialogis. Maka guru yang demokratis, dalam mengelola pembelajaran memilih metode pembelajaran dialogis. Proses belajar menjadi proses pencarian bersama dalam suasana menyenangkan dan saling membutuhkan. Untuk mencapai kondisi pembelajaran seperti itu, membutuhkan adanya gerakan pembaharuan pengajaran. Pengajaran tradisional-statis/monoton ke pengajaran yang dinamis dan memerdekakan.

Menurut Paulo Freire pembelajaran statis mewujud dalam pembelajaran "gaya bank". Secara sederhana Freire menyusun antagonisme pembelajaran "gaya bank" seperti ini: guru mengajar - murid belajar; guru tahu segalanya - murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir - murid dipikirkan; guru bicara - murid mendengarkan; guru mengatur - murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya - murid menuruti; guru bertindak - murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru; guru memilih apa yang akan diajarkan - murid menyesuaikan diri. Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan "gaya bank", murid menjadi obyek penindasan pendidikan (guru).


Dalam konteks pendidikan Indonesia, pendidikan "gaya bank" sebagaimana dikemukakan Paulo Freire menjelma dalam bentuk 7 (tujuh) dosa besar yang sering dilakukan oleh para guru. Tujuh dosa guru itu adalah :

a). Mengambil jalan pintas dalam mengajar; b). menunggu peserta didik berperilaku negative baru ditegur; c).menggunakan destructive discipline (sanksi yang kurang mendidik) saat membina siswa; d). mengabaikan keunikan peserta didik saat mengajar (siswa kurang mampu dan siswa mampu diperlakukan sama saja dalam KBM); e). malas belajar dalam meningkatkan ketrampilan karena merasa paling pandai dan tahu; f. tidak adil (deskriminatif); dan g). memaksa hak peserta didik.

Finlandia dan Korea Selatan sebagai Negara terbaik dalam Pendidikan

Hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Penelitian mengukur bidang sains, membaca, dan matematika, menempatkan Finlandia peringkat satu dunia dalam pendidikan. Ternyata negara tersebut tidak mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu.

Sebaliknya, Korea Selatan, ranking kedua setelah Finlandia, siswanya menghabiskan 50 jam perminggu. Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.

Guru sebagai factor menentukan mutu pendidikan, menjadi penentu keberhasilan siswa. Guru berkwalitas menghasilkan pendidikan berkwalitas. Sebaliknya guru tidak berkwalitas, sulit dipercaya akan menghasilkan pendidikan berkwalitas.

Guru sebagai kurikulum berjalan, seharusnya setiap saat memperbaharui dan meningkatkan kemampuan keguruannya. Menjadi pendidik berkwalitas. Meningkatkan pengetahuan dengan belajar dan rajin membaca. Guru yang kurang peduli dengan usaha peningkatan kemampuan akan terlindas dan tersisih oleh mereka yang memiliki banyak pengetahuan dan kemampuan. Quo Vadis guru?

selengkapnya......

Arah Pendidikan Buta Aksara

Oleh Agus Wibowo dan Benny Setiawan Buta aksara adalah keadaan ketika orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, keduanya merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta teknologi informasi (TI). Akibat banyaknya penderita buta aksara, majalah Time pada 2007 lalu, melabeli kita sebagai bangsa yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional. Indonesia, tulis Time, bahkan tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara maju Asia seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan sebagainya, tapi juga tertinggal dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja. Julukan sebagai bangsa tertinggal dan tidak punya pengaruh memang menyakitkan!
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, penderita buta aksara berjumlah 15,4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%. Setahun kemudian (tahun 2008), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), menyebutkan jumlah penderita buta aksara mencapai 10,1 juta orang. Menurut Depdiknas, tahun 2008 memang ada sedikit penurunan penderita buta aksara sebanyak 1,7 juta orang, jika dibandingkan dengan tahun 2007 (11,8 juta orang).

Namun, BPS sendiri belum mengeluarkan data resmi mengenai adanya penurunan penderita buta aksara itu.
Data mutakhir yang dirilis Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2010), angka penderita buta aksara saat ini mencapai 8,4 juta jiwa. Sekitar 65% atau 5,46 juta jiwa di antaranya adalah kaum perempuan dengan usia rata-rata di atas 40 tahun. Menurut Dirjen PNFI, Dr Hamid Muhammad Phd (2010), setiap tahun, 880 ribu anak Indonesia berpotensi buta aksara. Jumlah tersebut berasal dari daerah terpencil sekitar 300 ribu anak, dan 580 ribu atau 1,7% dari 1,29 juta anak-anak SD yang putus sekolah antara kelas 1 dan 3, tutur Dr Hamid Muhammad Phd.
Jika dilihat dari grafik penyebaran penderita buta aksara, perbedaan antara desa dan kota amat mencolok. Di kawasan perkotaan, jumlah penderita buta aksara hanya sekitar 4,9%. Sementara di daerah perdesaan, jumlahnya bisa mencapai lebih dari 12,2%. Dari grafik penyebaran itu bisa ditarik kesimpulan bahwa sampai saat ini desa masih tetap menjadi penyumbang utama jumlah penderita buta aksara.

Komoditas politik
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam menyikapi persoalan buta aksara. Sejak tahun 1945 melalui bagian pendidikan masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, pemerintah melakukan gerakan ‘melek’ aksara, yang dikenal dengan nama Pemberantasan Buta Huruf (PBH) atau Kursus ABC. Tahun 1951 pemerintah menyusun rencana Sepuluh Tahun PBH, dengan harapan buta aksara akan selesai dalam jangka waktu 10 tahun. Keadaan itu membuat gerah Presiden Soekarno, dan pada tahun itu juga presiden mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964.

Pada 1966, digulirkan kembali PBH fungsional. PBH saat itu dibagi dalam tiga tahapan, yakni PBH permulaan, PBH lanjutan I, dan PBH lanjutan II. Bahan belajar PBH permulaan menggunakan buku kecil Petani Belajar Membaca yang diselesaikan 20-30 hari. Selanjutnya, mulai 1970-an dirintis program Kejar Paket A, yaitu program PBH dengan menggunakan bahan belajar Paket A yang terdiri atas Paket A1 sampai A100. Hingga tahun 1995, program PBH masih terus dilakukan di sembilan provinsi dengan memperbaiki sistem pelatihan, metodologi pembelajaran, dan sistem penyelenggaraannya. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa program PBH yang dilakukan pemerintah dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, belum optimal menekan kenaikan angka penderita buta aksara? Lantas, langkah strategis seperti apa yang efektif untuk menekan laju peningkatan penderita buta aksara?
Jika kita cermati dengan saksama, ketidakberhasilan program PBH yang dilakukan pemerintah dari masa ke masa itu, disebabkan beberapa hal. Pertama, program yang dilakukan tidak pernah tuntas, bahkan sekadar tambal sulam. Itu dapat dilihat dari budaya ganti rezim ganti pula programnya, sehingga menimbulkan diskontinuitas. Kedua, setiap komponen tidak bekerja secara sinergis dan dengan visi yang sama. Akibatnya, program tidak bisa berjalan efektif, karena tidak jelas ujung pangkalnya.
Menurut Paulo Freire (1999), persoalan buta aksara sejatinya bertalian erat dengan aspek politik, pendidikan, dan sistem budaya masyarakat. Meski demikian, aspek politik memiliki pengaruh sangat kuat sekaligus sebagai kunci utama. Itu karena politik lebih sering menjadikan problem buta huruf sebagai komoditas kampanye, yang mampu menarik dukungan rakyat di samping kemiskinan. Sebagai isu yang sensitif, buta huruf akan menutupi kualitas, kredibilitas atau kubu asal calon. Singkatnya, asal mengusung isu atau tema-tema itu, rakyat sudah pasti akan mendukung. Fakta itu dapat kita lihat pada rekam jejak beberapa kandidat capres yang maju pada Pilpres 2009. Mereka juga menggunakan isu buta huruf dan kemiskinan sebagai kendaraan utamanya.

Kembali ke desa
Sebelum generasi mendatang tenggelam dalam kebodohan, dan sebelum bangsa ini semakin tertinggal, buta aksara harus segera dihilangkan. Melalui momentum peringatan Hari Aksara tahun ini, segenap pihak perlu bekerja sama dalam merumuskan strategi dan formula efektif mengentaskan masyarakat dari buta aksara. Strategi ini harus bersifat holistis dan sinergis, antara aspek politik, pendidikan, dan sistem kebudayaan masyarakat. Artinya, selain paralel dengan pemberdayaan masyarakat, pemberantasan buta aksara juga harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil.
Strategi demikian, sejatinya memiliki kesesuaian dengan langkah Presiden Yudhoyono, khususnya dalam Inpres No 5 Tahun 2006 lalu. Inpres ini di antaranya berisi pernyataan bahwa pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan politik (vertikal) dan horizontal, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Adapun pendekatan horizontal, dilakukan dengan melibatkan berbagai organisasi kebudayaan, LSM, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Peran serta organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Muhammadiyah dan NU dapat bekerja sama dengan organisasi otonomnya seperti Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dahulu Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan seterusnya. Program kerjanya dapat dilakukan melalui pimpinan ranting dan pimpinan cabang. Kelompok-kelompok pengajian yang selama ini ada dapat dijadikan modal untuk pendidikan membaca dan menulis. Mereka mudah tergerakkan atau tersadarkan oleh ikatan emosional ormas. Contoh yang dilakukan Muhammadiyah dengan mengadakan Program Keaksaraan Fungsional Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, di Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lain baik di Jawa maupun luar Jawa, adalah salah satu inisiatif yang perlu diperluas dan dikembangkan secara terus-menerus.
Pengaktifan kembali pusat-pusat pembelajaran dan perpustakaan di desa juga penting. Pusat pembelajaran yang dahulu dibina melalui dasawisma sudah saatnya menjadi penyokong sekaligus ujung tombak pemberantasan buta aksara. Perpustakaan desa yang menurut data Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal berjumlah 5.552 sudah saatnya dikembangkan dan ditingkatkan hingga mencapai 70.611 atau seluruh desa di Indonesia. Program ini lebih mempunyai nilai dan makna daripada pemerintah susah payah membuat taman bacaan masyarakat di mal. Selain lebih merakyat, program ‘perpustakaan masuk desa’ dapat mempercepat proses pemberantasan buta aksara.
Dengan semakin meningkatnya tingkat melek huruf di desa, beberapa target Millennium Development Goals (MDGs) akan segera tercapai, yaitu menghapus tingkat kemiskinan dan kelaparan serta mencapai pendidikan dasar secara universal pada 2015. Dengan demikian baik pemerintah maupun masyarakat mempunyai kewajiban yang sama dalam memberantas buta aksara dengan turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya dukungan dan kesadaran dari seluruh anggota masyarakat, penyakit sosial ini akan semakin parah dan akan menelan banyak korban.

Oleh Agus Wibowo dan Benny Setiawan
Pemerhati Pendidikan, tinggal di Yogyakarta

selengkapnya......