PendidikanKarakter dalamSemangatKewirausahaan

|

PENDIDIKAN karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Nasional menjadi keharusan,terutama dalam menghadapi persaingan di era global yang semakin ketat.
Pengamat Pendidikan dari Perguruan Taman Siswa Darmaningtyas menyambut hal itu dengan positif. Namun, dia masih mempertanyakan karakter seperti apa yang dibutuhkan bangsa ini. ”Jika merujuk Undang-Undang Pendidikan, maka karakter yang dibutuhkan adalah manusia yang religius.Masalah itu saja belum cukup, mengingat manusia Indonesia sangatlah plural,” kata Darmaningtyas ketika dihubungi lewat ponselnya.
Karena itu, lanjut dia, perlu ditentukan terlebih dahulu definisi karakter yang sesungguhnya secara tepat.Dia merumuskan karakter sebagai sebuah sikap yang harus dimiliki individu yang mempunyai tanggung jawab sosial dan berkomitmen penuh terhadap negara dan memiliki sikap kebangsaan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak bisa hanya mengandalkan pihak sekolah. “Pembentukan karakter bukan hanya produk pendidikan. Kontribusi pendidikan terhadap individu hanya sebesar 25%.

Selebihnya, karakter seseorang terbentuk melalui kondisi di keluarga dan lingkungan tempat dia tinggal,” sebutnya. Darmaningtyas menyarankan agar keluarga, khususnya orang tua,mendidik anak sejak dini agar kelak dapat tumbuh dengan karakter yang mantap. Urgensi penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan,juga disikapi secara positif oleh pengamat pendidikan lainnya,Hanif Saha Ghafur. Namun, pengamat pendidikan dari Universitas Indonesia ini menilai, sekolah belum menerapkan pendidikan karakter secara maksimal.

Selama ini,Hanif menilai,sekolah baru berfokus pada aspek akademik semata dari para siswanya. Karena itu goal utamanya adalah bagaimana siswa dapat lulus ujian dengan nilai baik, yang kemudian mengaburkan persoalan pendidikan karakter yang seharusnya siswa dapatkan. Padahal, sekolah bukan hanya sebagai tempat mendulang nilai agar dapat lulus. Lebih dari itu, sekolah seharusnya menjadi sarana edukasi karakter siswa sebagai bekal sewaktu terjun ke dunia profesi. “Nilai akademik yang memuaskan memang bagus,tapi jika tidak diiringi dengan karakter yang kuat, buat apa?

Nantinya kita malah hanya menjadi bangsa pekerja. Lagi pula sudah banyak kasus penyimpangan yang terjadi di negara ini lantaran lemahnya karakter seseorang,” kata Hanif. Hanif melihat, pada umumnya negara maju sebelum mampu menancapkan kukunya di kancah internasional, diawali dengan memiliki karakter yang kuat pada generasi mudanya. Hal inilah yang belum dilihat Hanif pada sebagian besar generasi muda di Indonesia. Karena itulah, pembentukan karakter harus diperkuat dengan semangat kewirausahaan sebagai inti kemajuan bangsa. “Fighting spirit berbasis keunggulan, struktur inilah yang seharusnya menjadi modal bangsa untuk maju dan menunjukkan kemampuannya di lingkup internasional,”ujar Hanif. Fighting spirit yang dilengkapi dengan penguasaan teknologi dan sumber daya berkualitas, tentu akan membuat negara mampu bersaing di tingkat dunia. Hanif juga mengatakan, semangat bersaing tak pelak harus dimiliki generasi muda.

Tentunya dengan mengedepankan persaingan yang sehat. Jika dibiasakan sejak dini, nantinya individu tidak lagi merasa tidak mampu atau bahkan menarik diri dari persaingan yang ada.Apalagi persaingan ke depan semakin ketat. Perlu Dukungan Penuh Keluarga Pelaksanaan pendidikan karakter memang tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan proses yang cukup lama dan SDM yang unggul dalam pengimplementasiannya. Sekolah merupakan wahana yang sangat efektif sebagai tempat pembinaan dan pengembangan karakter secara integral. Melalui para pendidik,diharapkan sekolah mampu menjadi motor penggerak dalam pembangunan karakter bangsa.

Namun, pada kenyataannya, pendidikan karakter tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pihak sekolah semata,melainkan dibutuhkan kerja sama segenap pihak agar tujuan pendidikan karakter dapat tercapai. Mulai dari pihak keluarga, masyarakat, bahkan media sekalipun yang turut berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang anak.Dengan demikian, pendidikan karakter harus dilakukan secara holistis dan terintegrasi. Keluarga merupakan wahana pendidikan karakter paling utama bagi seorang anak. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini di dalam lingkungan keluarga.“Tantangan besar dalam penerapan pendidikan karakter ini ada pada keluarga.Segala pengajaran yang diberikan sekolah, baru bisa berhasil jika keluarga turut mendukung dengan memberikan teladan dan lingkungan yang kondusif di rumah,” beber Novi Hardian selaku staf Litbang Sekolah Alam Ciganjur.

Dikatakan Novi, sekeras apa pun mendidik siswa di sekolah tanpa adanya dukungan dari pihak keluarga,maka berbagai pelajaran moral yang pernah diberikan kepada siswa menjadi tidak berarti. Sebenarnya, masih menurut Novi, pendidikan karakter tidak mudah untuk diberikan kepada siswa. Para guru dituntut untuk mendidik bahan dasar yang tidak dibentuk sedari awal.“Perlu diingat bahwa sekolah bukan bengkel yang bisa memperbaiki segala sesuatunya,” katanya.

Hal serupa dibenarkan oleh Marsono dari Divisi Research & Development Madina Islamic School. Diakuinya, siswa berasal dari berbagai latar belakang keluarga dengan segala kepribadian yang tidak sama.Karenanya,tentu membutuhkan kerja keras guna membentuk karakter yang kuat dalam diri setiap siswa. “Masih banyak keluarga yang hanya berpikir sekolah tempat menitipkan anak, dan harus bertanggung jawab terhadap moral yang dimiliki anak bersangkutan,”tutur Marsono.

Alhasil,keluarga lalu merasa boleh lepas tangan atas anaknya dan tidak melakukan pengawasan ataupun memberi pendidikan kembali di rumah. Padahal, dibutuhkan kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai karakter positif ke dalam jiwa anaknya. Keluarga atau orang tua harus selalu memberikan nasihat-nasihat positif dan menunjukkan suritauladan yang baik di hadapan anak.Orang tua sebisa mungkin juga harus berusaha menciptakan kondisi rumah yang nyaman bagi anaknya. Tentunya sebuah rumah yang ideal harus dibalut dengan cinta,kasih sayang, dan kultur demokratis di dalamnya. (sri noviarni)

0 komentar: