UJIAN NASIONAL ANTARA KUALITAS DAN MALAPETAKA

|

Tanggal 19 dan 26 juni tahun 2006 adalah saat yang paling menggembirakan sekaligus menyedihkan bagi siswa SLTP dan SLTA yang telah mengikuti Ujian Nasional. Bagaimana tidak pada tanggal itu hasil Ujian Nasional yang hanya menetapkan dua alternatif yaitu lulus atau tidak, telah dapat diketahui oleh masing-masing peserta. Bagi yang lulus jelas akan merasakan luapan kegembiraan, kegiatan belajar yang telah diusahakan minimal tiga tahun telah membuahkan hasil dengan bukti tanda lulus (ijazah) sebagai bekal untuk meniti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sementara siswa yang tidak lulus akan merasakan kekecewaan yang mendalam yang mungkin saja diekspresikan dengan melalukan tindakan yang melanggar seperti melempari gedung sekolah atau tindakan anarkis lainnya. Memperhatikan berita media elektronik maupun media cetak ada sebuah SLTA hanya satu siswanya yang lulus bahkan ada yang tidak ada sama sekali.

Perlu memeras pikiran untuk menyetujui atau tidak hal tersebut perlu terjadi atau tidak. Jika mencermati lebih lanjut tentang kelulusan atau ketidak lulusan, ada siswa yang pantas lulus tetapi tidak lulus demikian juga sebaliknya sebaiknya tidak lulus tetapi dia lulus. Fenomena ini telah berlangsung sejak pemerintah menetapkan standar minimal kelulusan. Dengan adanya standar minimal kelulusan yang tahun ini adalah 4,26 proses belajar mengajar yang berlangsung paling kurang tiga tahun hasilnya hanya ditentukan selama dua jam dengan alat ukur seperangkap alat evaluasi yang dirakit secara nasional. Sementara sekolah yang telah menangani dan memahami sikap serta tingkat intelektual seorang siswa selama kurang lebih tiga tahun tidak punya peranan apa-apa dalam mentukan nasib siswanya. Pada saat pelaksanaan Ujian Nasional dapat saja terjadi hal-hal yang tidak rasional, seperti lulusnya 100 % siswa sebuah sekolah swasta yang kadang ada diantara siswanya sama sekali tidak pernah mengikuti proses belajar mengajar. Banyak hal-hal insidensial yang kerap kali terjadi pada pelaksanaan ujian Nasional yang kadang tidak masuk diakal tetapi menguntungkan dan merugikan siswa.
Kontrol Kualitas
Kualitas pendidikan di Indonesia yang semakin hari makin terpuruk memaksa pemerintah menerapkan berbagai kebijakan. Salah satu diantaranya pelaksanaan Ujian nasional yang pada awalnya dikenal dengan nama EBTANAS. Kebijakan ini ditandai dengan pengambilalihan beberapa mata pelajaran oleh pemerintah dalam perakitan soal-soal ujian. Kontrol pemerintah memasuki babak awal terhadap sekolah dalam hal menentukan kelulusan walaupun belum maksimal karena sekolah masih bisa mempengaruhi kelulusan melalui penggabungan nilai Ebtanas dan nilai caturwulan sehingga sekolah dengan mudah dapat meluluskan siswanya hingga 100 %. Kelihatannya pada masa ini pemerintah masih sangat hati-hati dalam menerapkan kebijakan. Karena kualitas pendidikan dari tahun ketahun jalan ditempat, walaupun mungkin ada faktor lain yang menyebabkan hal ini pemerintah meningkatkan kontrolnya dengan menerapkan standar minimal kelulusan dengan nilai murni. Pada awalnya ditetapkan 3,5 tetapi pada saat bersamaan diterapkan juga ujian pengulangan sampai dua kali bagi yang tidak lulus pada tahap pertama, sehingga sekolah tetap dapat meluluskan siswanya sampai 100 % pada ujian tahap kedua atau ketiga. Lagi-lagi pada tahap ini nampaknya pemerintah belum memperlihatkan ketegasannya. Ujian tahap kedua dan ketiga hanyalah sarana untuk meluluskan yang belum lulus. Kritikan juga bermunculan dari berbagai kalangan yang menuduh ujian nasional hanyalah proyek sia-sia yang menghabiskan dana besar apalagi jika dihubungkan dengan paradigma baru pendidikan nasional yaitu demokratisasi dan otonomisasi sangat bertentangan dengan semangat tersebut.
Wacana yang disuarakan oleh pemerhati pendidikan yang berisi penolakan terhadap Ujian Nasional tidak menyurutkan niat pemerintah untuk mengontrol kualitas pendidikan lewat ujian akhir sekolah. Mulai tahun pelajaran 2004/2005 mata pelajaran ujian nasional dikurangi hingga tinggal tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan matematika. Jika tahun pelajarn 2004/2005 masih diberlakukan ujian tahap kedua tetapi pada tahun ajaran 2005/2006 tidak ada lagi ujian tahap kedua sementara standar kelulusan dipatok pada angka 4,26 dan rata-rata 4,51. Mencermati kebijakan terakhir ini menandakan bahwa pemerintah sudah tidak memiliki keraguan dalam menghadapi akibat negatif dari kebijakannya yaitu resiko akan banyaknya siswa yang tidak lulus. Meman beralasan jika pemerintah tidak mau melepas kontrolnya terhadap sekolah melalui ujian nasional karena jika tidak demikian maka tiap tahun dengan mudah siswa dapat berhasil dalam ujian dikarenakan berbagai faktor diantaranya adalah terbentuknya hubungan emosional yang dalam antara siswa dan para guru di sekolah. Hal demikian menyebabkan menurunnya semangat belajar karena kurannya motivasi yang ujung-ujungnya dapat menurunkan kwalitas pendidikan itu sendiri.
Sumber Malapetaka
Melihat berbagai gejolak paska pengumuman hasil Ujian Nasional, penulis teringat ketika di SMA, waktu itu seorang teman yang kini juga telah menjadi guru di SMA terancam tidak lulus karena faktor kemalasan. Maklum dia sekolah dikota lalu tinggal di sebuah desa sekitar 20 km dari kota. Namun sebelum hasil ujian diumumkan terlebih dahulu hasil penjaringan PMDK (Penulusuran Minat dan Kemampuan ) menetapkan dia menjadi mahasiswa IKIP Ujung Pandang, sehingga sekolah yang berniat tidak meluluskan dia terpaksa merubah pendiriannya meluluskan siswa tersebut. Namun sekarang keadaannya terbalik, banyak siswa yang telah lulus diperguruan tinggi elit malah tidak lulus, bahkan ada yang mendapat tawaran beasiswa untuk belajar di Jerman atau di Australia gagal dalam Ujian Nasional padahal selama tiga tahun di SMA selalu juara pertama. Bahkan jika dicermati lebih lanjut terkadang penyebab ketidak lulusan itu hanya karena kesalahan dalam menjawab satu soal misalnya jika seorang siswa memperoleh 4,20 maka tinggal satu soal saja yang dijawab benar maka akan memperoleh nilai standar minimal yaitu 4,26. Kesalahan yang sedikit itu menghancurkan usaha selama tiga tahun. Padahal masih banyak faktor lain yang dapat dijadikan indikator bahwa seorang siswa pantas lulus. Sementara mungkin ada siswa yang lulus disebabkan karena kelihaiannya dalam menyontek atau mendapat bantuan dari orang lain, sementera keadaannya sehari-hari tidak memungkingkan untuk lulus.
Undang-undang No. 20 tahun 2003
Pasal 35 Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Adapun maksud dari penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala adalah untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetensi antar bangsa dalam peradaban dunia. Barangkali dengan dasar pasal tersebut pemerintah meningkatkan penilaian pendidikan secara berkala hanya pada standar minimal kelulusan yang selama tiga tahun terakhir meningkat terus, tampa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang perlu juga ditingkatkan seperti dana pendidikan. Sebaiknya penilaian pendidikan tidak hanya dinilai pada satu sisi, tetapi perlu multi sisi. Sementara dalam pasal lain dikatakan bahwa masyarakat berhak berperang serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Hal ini berarti masyarakat harus dilibatkan dalam penilaian pendidikan. Dengan dasar tersebut maka perlu ada format baru dalam sistim penilaian pendidikan agar kepentingan individu dan negara bisa tercapai secara bersama-sama sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan.

0 komentar: