PENDIDIKAN GRATIS YANG MENGECEWAKAN

|

Tahun pelajaran 2006/2007 telah berlangsung kurang lebih dua bulan. Semua calon siswa yang bercita-cita melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi telah mengikuti proses belajar mengajar pada sekolah pilihannya atau sekolah lain yang bukan minatnya. Bahkan ada lagi sekelompok anak usia sekolah yang menganggur karena tidak mampu memasuki sekolah idamannya karena faktor ekonomi atau faktor lain. Tersebutlah seorang sopir taksi di kota Makassar, dia mengeluh karena untuk menyekolahkan anaknya di sebuah SMPN harus mengeluarkan uang diatas satu juta-an untuk membayar segala persyaratan baik berupa barang maupun urusan yang berhubungan dengan administrasi.

Karena kondisi ekonominya yang pas-pasan terpaksa dia menbatalkan niatnya untuk menyekolahkan anaknya yang bungsu di SD karena segenap kemampuannya dipusatkan pada anaknya yang mendaftar di SMPN. Ditempat lain masih di kota Makassar seorang ibu rumah tangga menggerutuh karena dia harus membayar dua juta-an untuk memasukkan anaknya di sebuah SMPN. Pengalaman kedua sopir taksi dan ibu rumah tangga tadi jauh beda dengan sepasang suami-istri yang berasal dari sebuah kabupaten tidak jauh dari Makassar yang kebetulan menginap di rumah ibu RT tadi dan menumpan di mobil sopir taksi tersebut. Kebetulan sepasang suami-istri tadi juga guru yang mengajar di sebuah SMPN. Disekolah tempat mereka mengajar siswa baru pada tahun ajaran 2006/2007 hanya membayar Rp 1500 (seribu limaratus rupiah) untuk pembeli Map yang telah berlabel nama sekolah tempat mereka mendaftar. Selama perjalanan antara sopir taksi dan penumpannya telah terjadi bincang-bincang yang panjang lebar tentang program pemerintah mengenai pendidikan gratis dan aplikasinya dilapangan. Dari semua ucapan yang dilontarkan oleh sopir taksi yang paling menarik dan tidak dapat dilupakan oleh kedua guru tersebut adalah kata “ Saya kecewa dengan pendidikan gratis”. Kalimat ini adalah kalimat yang menarik untuk dianalisis, mengapa ada istilah gratis yang mengecewakan ? setahu penulis yang gratis itu menguntungkan tetapi yang satu ini justru sebaliknya. Ada apa dengan semua ini ?
Pendidikan gratis
Istilah pendidikan gratis pertama kali diperdengarkan oleh pemerintah pusat pada akhir tahun pelajaran 2003/2004. Rencana ini berkaitan dengan upaya mensukseskan wajib belajar sembilan tahun yang akan berakhir pada tahun 2009 yang sedianya tahun 2007 namun karena krisis ekonomi yang melanda negeri ini maka ditunda. Sejak diberlakukannya SK Menteri Pendidikan Nasional tentang peranan masyarakat dalam membantu pelaksanaan pendidikan di Indonesia yang di kenal dengan BP3 (Badan Pembantu pelaksana Pendidikan) hingga peranan tersebut diperluas keberbagai aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang ditandai perubahan dari BP3 ke Komite Sekolah atau Dewan Madrasah menyebabkan sekolah menjadikan Komite Sekolah sebagai alat untuk memperoleh dukungan dana dari orang tua siswa disamping dukungan lain. Dalam perjalanan kedua organisasi orang tua siswa tersebut terkesan hanya sebagai alat pengumpul dana dari orang tua siswa. Sementera tugas lainnya seperti memberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pendidikan, mengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan serta mediator antara pemerintah dengan masyarakat belum begitu maksimal.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan angka kemiskinan bertambah. Kondisi demikan mempengaruhi kemampuan orang tua yang terkena dampak langsung dari krisis ini untuk menyekolahkan atau melanjutkan pendidikan anaknya kejenjang yang lebih tinggi. Mulailah pemerintah memberi bantuan langsung kepada orang tua siswa melalui JPS (Jaring Pengaman Sosial) meliputi bidang pendidikan dan kesehatan. Namun pungutan iuran melalui komite tetap berjalan, karena tujuan dari dana JPS pendidikan adalah untuk membeli perlengkapan sekolah dan membayar iuran yang diberlakukan oleh sekolah melalui komite. Kenyataannya dana JPS tidak dapat menutupi kewajiban siswa di sekolahnya. Dengan demikian mulai tahun pelajaran 2005/2006 pemerintah memberhentikan JPS yang berubah istilah menjadi BKM (Bantuan Khusus Murid) dijenjang pendidikan dasar dan mengganti dengan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang bertujuan untuk menggantikan biaya operasional pendidikan yang sumbernya berasal dari orang tua siswa. Dana ini sepenuhnya dikelolah oleh sekolah. Dengan demikian dimulailah era Pendidikan Dasar sembilan tahun yang gratis.
Apanya pendidikan yang gratis ?
Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan gratis diterjemahkan oleh masyarakat/orang tua siswa secara subyektif, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda. Sebagian besar masyarakat yang anaknya sementara belajar di jenjang pendidikan dasar mengartikan bahwa tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk biaya sekolah anaknya. Bahkan pemikiran tersebut tidak hanya melanda masyarakat pengguna pendidikan tetapi termasuk pelaksana pendidikan. Sebuah SD disalah satu kabupaten di sul-sel pernah memerintahkan siswanya tidak membawa alat tulis-menulis kesekolahnya karena sekolah akan menyediakan segala pasilitas proses belajar mengajar. Sementara di sekolah lain hanya membebaskan siswa dari pembayaran iuran, bahkan ada sekolah bukan hanya iuran tetapi juga sumbangan dan yang lebih mengejutkan terdapat sekolah yang takut menerima sumbangan karena pernah mengembalikan sumbangan orangtua siswanya karena diperintah oleh pihak yang berwenang.
Seringnya muncul rasa tidak puas dari orang tua siswa yang anaknya masih belajar di jenjang pendidikan dasar terhadap program pendidikan gratis, karena adanya perbedaan antara pemerintah daerah/kota dengan pemerintah daerah/kota lainnya dalam menyikapi hal ini. Ada pemerintah daerah mengikuti program pusat dengan cara melarang menarik dana baik itu iuran, sumbangan, bahkan melarang sekolah yang ada diwilayahnya menjual apapun kepada siswanya. Sementara didaerah lain hanya menghapuskan iuran tetapi sekolah mewajibkan membeli buku, pakaian, formulir pendaftaran yang harganya cukup tinggi. Dana BOS yang dianggarkan dan didrop kesekolah berdasarkan jumlah siswa salah satu tujuannya adalah pengadaan buku pelajaran yang digunakan di sekolah, kenyataannya tidak begitu efektif padahal jumlahnya cukup banyak. Sekolah yang memiliki siswa seribuan dapat bagian dana BOS sekitar limaratus juta. Namun barangkali dana BOS yang dialokasikan kesekolah tidak cukup menutupi kebutuhan sekolah diluar pengadaan buku. Diera paradigma baru pendidikan nasional sekolah butuh banyak dana untuk mengantisipasi penerapan kurikulum 2004 yang sarat dengan kegiatan guru dan siswa termasuk penerapan teknologi terkini.
Anggaran pendidikan yang belum mencapai target 20% dari APBN berdasarkan amanat undang-undang dasar hasil amandemen turut berpengaruh terhadap kacaunya realisasi program pendidikan gratis di SD/SLTP negeri. Yang dibutuhkan sekarang adalah perlu ada petunjuk/aturan yang dapat mengikat sekolah-sekolah dalam menetapkan apa saja yang digratiskan sehingga terjadi keseragaman antara satu sekolah dengan sekolah lain sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Sementara disisi lain undang-undang nomor 20 tahun 2003 menegaskan bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Dengan demikian sebesar apa peranan masyarakat mengenai pendanaan pendidikan sekarang ini tergantung kebijakan pemerintah daerah.

0 komentar: