PESIMISTIK TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURISME

|

Di Sidney, Minggu 11 Desember 2005 lalu, kerusuhan menggungcang pantai Cronullah Australia. Sebanyak lima ribu orang tiba-tiba menyerang para pemuda yang berpenampilan dan berlatang belakang etnis Timur Tengah. Kelanjutan dari kerusuhan itu, kini sedang berlangsung kristalisasi pengelompokan etnis, antara yang barat atau Australia, dengan mereka yang berpenampilan Timur Tengah. Dua bulan sebelumnya Oktober 2005 di Paris dan beberapa kota lainnya di Perancis dilanda kepanikan luar biasa. Ribuan kendaraan, puluhan gedung dan fasilitas umum hangus terbakar akibat kerusuhan berbau sara.

Ratusan orang ditangkap, korbang jiwapun jatuh. Kerusuhan ini dipicu oleh kematian dua orang remaja keturunan Afrika. Sementara di tanah air pada tahun 1998 tepatnya di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia telah terjadi pengrusakan terhadap harta benda etnis Cina. Kemudian berlanjut perang antara suku Dayak dan orang Madura yang berada di Kalimantan. Sebelumnya perang yang lebih dahsyat terjadi di Ambon yang bernuansa SARA yang menelang ribuan korbang manusia dan pemusnahan harta benda, dan masih banyak lagi kejadian pelecehan terhadap etnis tertentu di belahan bumi lain yang tidak dapat di sebutkan satu persatu.
Mencermati kejadian demi kejadian yang menyangkut persoalan etnis, suku atau ras terkadang muncul pertanyaan dibenak kita mungkinkah umat manusia akan mengalami suatu masa kedamaian dimana manusia menyadari dan mengakui hak-hak sesamanya seperti apa yang ditargetkan para penganut pendidikan multikulturisme ? jawabnya mungkin ya, mungkin tidak.
Multikulturisme itu sendiri mengalami pasang surut pengertian yang dapat dibedakan sebagai berikut .Pengertian tradisional multikulturisme yang disebut juga gelombang pertama aliran multikulturisme, mempunyai dua ciri utama yaitu : 1.Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of Recognation), 2.Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dengan demikian pendidikan multikulturisme dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk mengadakan perubahan yang positif dan lebih maju dalam memahami keberagaman etnis termasuk segala hak-haknya. Dalam perjalanan sejarah umat manusia telah terbukti bahwa multikulturisme itu ternyata bukanlah suatu pengertian yang mudah diaplikasikan. Didalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti prular, “kulturisme” berisi pengertian kultur atau budaya. Istila plural mengandung istilah yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti sekadar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, social ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokratis. Banyak Negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara demokratis tetapi tidak mengakui adanya pluralisme didalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Dengan demikian betapa berat tugas yang diembang dunia pendidikan yang berkaitan dengan hal ini. Karena pendidikan akan mengaktualisasikan suatu misi penyadaran umat manusia yang tersebar diberbagai negara agar saling menghormati, menghargai, serta mengakui keberadaan masing-masing dalam bingkai persamaan hak.
Namun jika memperhatikan situasi dunia/umat manusia dewasa ini kenyataannya makin jauh dari harapan para pembawa misi/visi pendidikan multikulturisme. Mengapa begitu berat tantangan yang harus dihadapi oleh para misioner pendidikan multikulturisme ? Ada baiknya kita mencermati pemikiran Steve Fuller tentang hiper-multikulturisme yang menyebabkan kondisi saat ini. (1).Menganggap budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri dapat mengarah kepada kecintaan diri sendiri atau rasisme budaya. Sikap yang berlebihan ini ada kaitannya dengan kolonialisme Eropa. Kolonialisme yang biasanya rasisme menganggap kebudayaan negara-negara terjajah sebagai kebudayaan imferior. Di Indonesia pada zaman kolonial, kebudayaan asli disebut oleh penjajah kebudayaan inlander yang mempunyai konotasi negatif. (2).Pertentangan budaya barat dan sisa barat. Pandangan inilah yang dikenal sebagai pendangan Eropa-sentris didalam melihat kebudayaan lain. Eropa menjadi pusat segala-galanya, lihat saja misalnya, letak geografis diukur dari eropa seperti timur tengah, timur jauh, Asia selatan semuanya dilihat dari posisi Eropa barat. Budaya barat biasanya diidentikkan dengan kemajuan (progress). (3).Multikulturisme berarti pengakuan adanya berjenis-jenis budaya. Banyak pengamat, terutama pengamat-pengamat barat mengamati pluralisme budaya itu sebagai sesuatu yang aneh yang berlainan dari budayanya sendiri. Pluralime budaya dianggap sebagai hal-hal yang eksotik, menarik perhatian. Dengan demikian budaya yang lain itu (the other) dilihat, dan bukan dihargai karena sifatnya eksotik. (4).Didalam penulisan budaya secara tidak sadar para peneliti melihatnya sebagai sesuatu entitas yang homogen dan dikuasai oleh laki-laki. Hal ini disebabkan karena para peneliti kebanyakan adalah peneliti laki-laki yang sudah tentu mempunyai bias terhadap perempuan. Gerakan feminisme, lebih-lebih pos feminisme menentang pandangan yang bias laki-laki. Peranan perempuan di dalam kebudayaan biasanya peranan yang minor dan disubordinasikan dari peranan laki-laki. (5).Mencari-cari apa yang disebut “Indigenous culture”. Dimana-mana orang keranjingan mencari nilai-nilai asli atau Indigenous culture. Pemujaan terhadap Indigenous culture merupakan sikap yang mempertentangkan epistemologi Barat dan non-Barat. Sudah tentu didalam era globalisasi, hal-hal yang berlebihan tersebut secara ekonomis kurang bernilai. (6).Pendapat yang beranggapan bahwa hanya penduduk asli dapat berbicara mengenai budayanya. Hal ini berarti orang asing atau orang luar tidak mempunyai wewenang atau kemampuan untuk mempelajari kebudayaan suatu masyarakat di luar kebudayaan sendiri.Hal ini dapat kita buktikan didalam pengetahuan hukum adat di Indonesia yang menjadi pelopornya adalah pakar-pakar Belanda. Demikianlah hiper-multikulturisme yang perlu kita sadari dan hindari.
Disampin semua itu telah adanya tanda-tanda kebenaran dari salah satu tulisan terkenal dari Samuel P.Huntington dalam majalah Foreign Affairs (1993) yang berjudul Clash of Civilization yang isinya menyatakan bahwa konflik antara peradaban tidak dapat dielakkan. Benar tidaknya pendapat Huntington di dalam tesisnya tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masa depan berada didalam kondisi yang tidak menentu untuk mengatasi masalah-masalah untuk hidup bersama di planet bumi yang semaking menyempit ini. Sejarah lebih lanjut akan membuktikan kebenaran tesis Huntinton apakah umat manusia dapat hidup rukun dan bersatu dengan adanya perbedaan-perbedaan didalam kebudayaan.
Tidak berlebihan jika perasaan pesimis timbul terhadap usaha-usaha pendidikam multikulturisme. Namun demikian usaha-usaha untuk menanamkan paham multikultural di negara kita telah dimulai sejak dahulu dengan adanya “Bhinneka Tunggal Ika” yang selanjutnya dinyatakan kembali dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional di dalam pasal 4 ayat (1) mengenai masalah nilai-nilai kultural sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan yang harus memperhatikan nilai-nilai kultural dan kemajukan bangsa. Hal demikian adalah modal utama dalam menghadapi multikulturisme maya atau imitasi yang didengung-dengungkan oleh dunia barat yang terkadang menggunakan standar ganda dalam menghadapi dunia lain yang berbeda ras, suku termasuk agama.

0 komentar: