Tauhid Kependidikan

|

Oleh:Ahmad BaedowiDalam perspektif teologis, makna tauhid identik dengan kemanusiaan. Artinya, tauhid tak sekadar meyakini akan keesaan Tuhan, tetapi lebih dari itu, adalah pemahaman tentang pentingnya penegakan rasa keadilan dan kesejahteraan yang ditujukan untuk membangun kesatuan dan kebersamaan umat manusia. Jika Tuhan telah membuat perbedaan dalam penciptaan-Nya, tauhid adalah cara agar kita berpikir dengan cara apa kita dapat menyatukan kemanusiaan. Perbedaan pengetahuan, terutama yang diakibatkan berbedanya sistem dan kualitas pendidikan di dalam sebuah negara, jelas sekali membawa implikasi serius terhadap status sosial dan ekonomi seseorang.
Jika dibandingkan dengan aspek lainnya, pendidikan memiliki pengaruh dan peluang yang tak terbatas untuk meningkatkan kesejahteraan sebuah bangsa. Pendidikan adalah jalan dengan setiap pemimpin bangsa harus menyadari kekeliruannya selama ini karena salah dalam memgambil kebijakan di bidang pendidikan. Pendidikan adalah masalah proses, menyangkut kesabaran dan daya tahan sebuah bangsa.

Tanpa keyakinan fundamental semacam itu, jelas sebuah kekeliruan sedang berlangsung tanpa kesadaran eskatologis sama sekali. Itu artinya pandangan ketauhidan kita terhadap kemanusiaan patut dipertanyakan. Pendek kata, apa pun yang menyangkut pendidikan seharusnya tetap diperjuangkan untuk mengubah kemanusiaan yang lebih adil dan sejahtera.
Banyak studi menyebutkan pengaruh pendidikan juga berimplikasi secara luas terhadap pembangunan sebuah bangsa. Bank Dunia dalam laporannya tak segan menyebutkan bahwa investasi di bidang pendidikan adalah imperative.
'Investment in education benefits the individual, society, and the world as a whole, and broad-based education of good quality is among the most powerful instruments known to reduce poverty and inequality' (World Bank: 2009). Karena itu jika sebuah negara lalai dalam memenuhi kecukupan pembiayaan pendidikan berdasarkan jumlah penduduknya, artinya negara tersebut sedang mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat agar dapat hidup lebih baik dan sejahtera. Implikasi sosial dan ekonomi dari pendidikan juga terbukti sebagai pendekatan paling ampuh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Z Oxaal, Education and Poverty, 1997).
Namun apa yang terjadi dengan Indonesia yang telah merdeka 65 tahun dan mayoritas penduduknya menyatakan beragama dalam bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila)? Jelas sekali tak ada pemaknaan secara eskatologis terhadap kebijakan pendidikan kita selama ini. Pembangunan pendidikan seperti jalan di tempat, bahkan seperti kehilangan akar dan ruhnya. Sebagai sektor yang melibatkan begitu banyak kepentingan politik dan budaya di dalamnya, kebijakan pendidikan kita selama ini selalu dipenuhi dengan kritik dan konflik antara otoritas pendidikan dan masyarakat. Karena itu, sebuah kebijakan pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kesatuan kemanusiaan merupakan syarat utama yang harus dikedepankan (Hill: 2000).
Meskipun dalam lima tahun terakhir ini kita banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam praktiknya terjadi banyak overlapping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Gary K Clabaugh dan Edward G Rozyki: 2006). Inefektivitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam lima tahun ke depan, jika dari sekarang baik para politikus, birokrat, dan masyarakat tidak memiliki konsensus secara teologis tentang ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan. Pembaruan kebijakan pendidikan yang berorientasi pada kesamaan pandangan dalam hal kesejahteraan rakyat harus terus diupayakan melalui konsensus antara otoritas pendidikan, politikus, dan masyarakat. Itu harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat dan daerah dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaruan pendidikan ke depan.
Politik pendidikan kita juga perlu dibenahi, terutama dalam menetralkan isu-isu yang dapat menghambat kemajuan di bidang pendidikan. Sebagai salah satu skema dalam menangani dan mendiskusikan sekaligus menganalisis proses penetapan kebijakan pendidikan dan menempatkannya di dalam wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan, politik pendidikan biasanya sangat peka terhadap isu-isu yang bersifat normatif dan teknis pendidikan, serta menangani persoalan tersebut pada semua level; sekolah, masyarakat, eksekutif dan legislatif. Semua pandangan ituharus bermuara dan dikembalikan kepada bingkai tauhid kependidikan Indonesia, yaitu Pancasila. Tanpa ada kesungguhan untuk melakukan reinterpretasi terhadap Pancasila sebagai dasar bernegara, kejatuhan Indonesia sesungguhnya seperti tinggal menunggu waktu.

0 komentar: