Sekolah Kepribadian ala Pesantren

|

Oleh Muhammad Safrodin SEBELUM bangsa ini heboh mewacanakan pendidikan karakter, dunia pesantren sudah sejak lama menjalankannya. Secara historis, pesantren merupakan model pendidikan tertua di Indonesia. Embrionya sudah ada bahkan jauh sebelum kedatangan Islam di Bumi Pertiwi. Dari sudut corak dan bentuknya, pesantren merupakan sistem pendidikan yang berasal dari India. Pada mulanya, model pesantren dipakai penganut agama Hindu dan Buddha sebagaimana agama asli Nusantara pada waktu itu.
Sejauh ini pesantren masih dipandang sebelah mata. Pesantren dinilai sebagai model pendidikan yang “zadul” (zaman dulu) yang sarat dengan keterbelakangan dan ketidakmajuan. Keberadaannya pun diramalkan tak akan bertahan lama, seiring dengan gemuruh globalisasi yang menuntut munculnya insan-insan kompetitif yang dinilai tak akan mampu diikuti dunia pesantren. Tak tangung-tanggung, Sutan Ali Syahbana (1997) mengkritik tajam bahwa sistem pendidikan pesantren harus segera ditinggalkan.

Menurutnya, mempertahankan pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum muslim. Sebagian lagi dengan sinis menyebut sistem pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan peran di tengah kehidupan global.
Adanya pemahaman seperti itu, bisa jadi, karena faktor bahwa alumni pesantren belum banyak yang berprestasi gemilang di kancah internasional, khususnya dalam bidang penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Sejauh ini belum banyak alumnus pesantren yang mampu mengharumkan nama Indonesia, misalnya dalam kajian fisika, matematika, kimia, dan semacamnya pada level dunia. Berbeda dengan sekolah umum, banyak muridnya yang telah mendapat pengakuan dari dunia internasional terkait prestasi cemerlang mereka di bidang sains dan teknologi.

Beberapa keunggulan
Meski dicap sebagai lembaga yang 'kolot', pesantren sesungguhnya punya peluang menjadi pusat peradaban di masa depan. Bahkan pesantren sebagai satu-satunya model pendidikan yang tahan banting terhadap serbuan arus globalisasi di tengah kacau-balaunya sistem pendidikan nasional. Hal itu tak lain karena beberapa keunggulan yang dimiliki pesantren yang tak ditemui di sekolah umum.
Keunggulan-keunggulan tersebut, menurut Imam Suprayogo (2009), adalah, pertama, pesantren memiliki kemandirian dan otonomi secara penuh. Kemandirian ini sangat penting dalam dunia pendidikan agar tidak terintervensi kepentingan lain. Kedua, memiliki semangat juang dan berkorban yang tinggi dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Di pesantren tak berlaku komersialisasi pendidikan yang berujung runtuhnya nilai-nilai pendidikan. Pesantren didirikan atas dasar keikhlasan dan diniatkan semata-mama untuk beribadah.
Keempat, pendidikan di pesantren dijalankan secara lebih komprehensif karena meliputi pendidikan akhlak, spiritual, ilmu pengetahuan, dan keterampilan. Kelima, pesantren tak hanya sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga kepribadian yang langsung dipantau kiai selama 24 jam penuh. Bahkan konsep home schooling yang belakangan marak diminati masyarakat ternyata diadopsi dari model pendidikan pesantren. Kelima, pesantren tidak mengenal simbol-simbol seperti sertifikat dan ijazah sebagaimana sekolah umum. Kelulusan didasarkan atas kompetensi yang dirasakan sendiri oleh santri.
Pesantren sejak dulu telah membuktikan keegaliterannya. Mayoritas pesantren dibangun secara swadaya oleh masyarakat/kiai dan tak mengenal istilah 'kamu jual, aku beli' (transaksional). Prinsip yang dikedepankan di pesantren adalah ikhlas beribadah. Tuhan menjadi satu-satunya tujuan dalam setiap amal kebaikan. Jadi, di pesantren tak mengenal komersialisasi pendidikan sebagaimana yang sekarang banyak dikeluhkan masyarakat. Biaya menempuh pendidikan di pesantren sangat murah, bahkan ada beberapa pesantren yang tak memungut biaya sepeser pun dari peserta didik.
Dalam pesantren, yang terjadi tak hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga transfer kepribadian melalui keteladanan terhadap Nabi Muhammad, para sahabat dan para ulama. Pesantren tak hanya mementingkan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Itulah yang pada akhirnya menempatkan pesantren sebagai satu-satunya 'sekolah moral' yang telah teruji keampuhannya dan sukses (sintas/survive) melampui berbagai babak episode zaman.

Tetap eksis
Ramalan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) bahwa eksistensi pesantren tak akan bertahan lama dengan begitu patut dikaji lagi. Pesantren hingga kini mampu menunjukkan kemampuannya yang cerdas melewati berbagai dinamika zaman dengan kompleksitas masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanannya, ia telah memberikan andil sangat besar dalam berpartisipasi aktif mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat.
Cukup beralasan jika tokoh sekaliber Ki Hajar Dewantoro dan Dr Soetomo (keduanya punya perhatian yang besar terhadap pendidikan) pernah mencita-citakan model pendidikan pesantren untuk dijadikan model pendidikan nasional. Bagi keduanya, konsep pendidikan yang dikembangkan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut dipertahankan dan dikembangkan. Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga pernah mengatakan andai Indonesia tak mengalami penjajahan, pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti alur pesantren sebagaimana yang terjadi di Barat yang hampir semua universitas terkenal, cikal bakalnya bermula dari perguruan yang berorientasi keagamaan, misalnya Harvard University. Jika demikian, di Indonesia yang ada semestinya bukan UI, ITB, UGM, Unair, dan lain sebagainya, melainkan Tremas, Universitas Krapyak, Universitas Tebuireng, Universitas Bangkalan, dan seterusnya.
Pesantren merupakan lembaga tertua yang asli (indigeneous) Indonesia. Keberadaannya pun telah memberikan andil besar bagi pejalanan bangsa Indonesia, bahkan turut serta mengantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan. Pesantren sebagai stok sumber daya manusia (SDM) yang andal. Dari rahim pesantren, lahirlah tokoh-tokoh masyarakat, ulama, intelektual, dan pemimpin bangsa yang tak bisa dinafikan begitu saja. Sebut saja Prof Syafii Maarif, Prof Mukti Ali, Dr Hidayat Nur Wahid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof Mahfud MD, Prof Din Syamsuddin. Kemudian pada masa prakemerdekaan ada Agus Salim, HOS Cokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Kahar Muzakir, Ahmad Dahlan, dan lain-lain.
Beberapa pesantren saat ini tak lagi ragu mendalami dan mengkaji ilmu-ilmu umum, di samping tetap mempertahankan muatan agama. Contohnya Pesantren Modern Gontor Ponorogo yang memasukkan bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai kurikulum wajib. Bahkan ada juga pesantren yang mulai melirik bahasa Mandarin. Ini merupakan prediksi yang cerdas karena China dan Jepang merupakan negara maju di Asia yang memungkinkan para alumnus pesantren mengakses kemajuan negara-negara tersebut.

Peran pemerintah
Dalam kancah nasional, pemerintah rupanya sudah mulai melirik pesantren untuk disejajarkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal itu bisa dilihat dengan terbitnya UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, pesantren dikategorikan sebagai bentuk pendidikan keagamaan (Pasal 30 Ayat 4). Dengan UU tersebut, pesantren telah memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam rangka mencerdaskan bangsa melalui pendidikan.
Pesantren sejak awal memang identik sebagai lembaga yang mandiri (otonom). Pengelolaan, pengembangan, bahkan pembiayaan operasional pesantren berasal dari masyarakat (community based education) dan juga tak jarang ditanggung sepenuhnya oleh kiai. Meski demikian, upaya merevitalisasi peran pesantren dalam kancah nasional tentu butuh dukungan besar dari berbagai pihak.
Pemerintah harus terus mendorong masyarakat agar tetap mendukung dan memberikan bantuan sumber daya pendidikan yang dibutuhkan pesantren, mulai dana operasional, tenaga pendidik, hingga sarana prasarana. Bagaimanapun pesantren tak ubahnya lembaga pendidikan formal lainnya yang sama-sama berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Peran pemerintah sebagai fasilitator tetap diperlukan agar pesantren kembali kepada jati diri mereka yang dicintai sekaligus diperlukan masyarakat. Tak jarang juga ditemui pesantren didirikan hanya karena ingin memperoleh kesempatan bantuan dari pemerintah tanpa mengundang keikutsertaan masyarakat ketika membangunnya. Pesantren dengan ciri itu hendaknya dikritisi juga oleh pemerintah.

Oleh Muhammad Safrodin, Pemerhati pendidikan, pernah nyantri di PP Al-Husain Magelang

0 komentar: