DAHULUKAN MUTU SEBELUM STATUS

|

SUDAH saatnya pemerintah menggegaskan evaluasi menyeluruh terhadap sekolah rintisan berstandar internasional. Melalui evaluasi ini, setidaknya ada dua hal yang perlu dijawab. Pertama, biaya sekolah yang sangat mahal; dan kedua, mutu pendidikan yang tak setara dengan label internasional.

Bermula empat tahun lalu, program ini dikawal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 50 undang-undang itu mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah di semua jenjang sebagai satuan pendidikan bertaraf internasional. Hingga 2009, sudah ada 1.110 sekolah jenis itu di seluruh Indonesia, meliputi SD, SMP, SMU, dan sekolah menengah kejuruan. Menteri Pendidikan Mohammad Nuh bahkan menargetkan, sekolah rintisan itu bisa "naik kelas" menjadi sekolah berstandar internasional pada 2012.

Program sekolah rintisan itu pada dasarnya patut didukung agar mutu sekolah kita mampu bersaing di level internasional. Sangat disayangkan, dalam empat tahun terakhir, Departemen Pendidikan telah mencabut izin 18 sekolah rintisan karena mutunya yang jelek. Kurikulum dan pendidik berstandar internasional-bergelar master atau doktor dengan bahasa pengantar Inggris-belum banyak terlihat. Padahal sekolah-sekolah ini sungguh "internasional" tarifnya. Uang masuk mulai Rp 7,5 juta hingga Rp 30 juta, plus uang sekolah bulanan ratusan ribu rupiah.

Pihak sekolah mendalihkan biaya itu demi menunjang fasilitas belajar-ruang ber-AC, laptop, akses Internet tanpa limit-sesuatu yang agak sulit diterima dari aspek prioritas. Pertama, bukankah mutu kurikulum dan kualitas pendidik yang perlu didahulukan? Faktanya, sebagian besar guru sekolah rintisan tetap mengajar dalam bahasa Indonesia. Tempo bahkan menemukan sekolah rintisan yang gurunya mengajar dalam bahasa Indonesia-didampingi penerjemah!

Kedua, Departemen Pendidikan telah melimpahkan hibah miliaran rupiah. Setiap SMP rintisan menerima Rp 300 juta pada 2010, SMU dan SMK mendapat Rp 600 juta untuk periode yang sama. Di sinilah perlunya evaluasi itu. Orang tua yang ingin anaknya "berkualitas internasional" mungkin sudi mengupayakan biaya mahal itu. Tapi mereka berhak mendapat informasi transparan tentang penggunaan biaya, dan menerima jaminan anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu.

Subsidi khusus bagi murid-murid cemerlang dari golongan kurang mampu perlu dipertimbangkan. Bukankah programnya sebagian dibiayai hibah pemerintah, yang notabene berasal dari uang rakyat? Apresiasi perlu kita berikan kepada sekolah rintisan yang sukses semacam SMP 19 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dilengkapi laboratorium multimedia, laboratorium bahasa, dan tenaga pengajar bergelar master, sekolah ini ditetapkan sebagai sekolah percontohan oleh organisasi menteri pendidikan Asia Tenggara.

Pencapaian SMP 19 menunjukkan sekolah rintisan bukan proyek mustahil. Tapi pemerintah perlu memperjelas standar internasional yang ingin dicapai, dan menyeragamkannya di semua sekolah rintisan. Upaya bisa diawali dengan mengaudit semua sekolah rintisan. Dari sini bisa ditetapkan mana yang bisa jalan terus, mana pula yang harus "diistirahatkan". Jika tidak, lebih baiklah miliaran rupiah dana itu digunakan untuk mendirikan sekolah negeri murah dan menaikkan kesejahteraan guru, ketimbang sekadar "menginggriskan" sekolah dengan mutu yang enggak puguh.

0 komentar: